BMT Sebagai Pendorong Ekonomi Kerakyatan

Baitul maal wa tamwil (rumah/pengelola harta dan keuangan), sebenarnya merupakan konsep aplikasi ekonomi Islam yang bersifat practical dalam mendorong ekonomi pada skala mikro. Dalam aturan hukum di Indonesia BMT dikelompokkan kedalam koperasi, dimana aturan hukumnya mengikuti UU koperasi no 17 tahun 2012, meskipun sebenarnya konsep BMT adalah jauh lebih luas bagi masyarakat. Peran BMT yang beroprasi pada skala pembiayaan ekonomi mikro (pembiayaan dibawah 50 juta/yang tidak banyak mendapatkan perhatian dari perbankan pada umumnya), menjadikan karakteristik yang melekat pada institusi keuangan ini. Pemerintah Indonesia pada akhirnya menempatkan BMT sebagai bagian dari koperasi untuk memberikan peranan yang lebih maksimal pada sektor yang belum digarap oleh lembaga keuangan formal.

Definisi level mikro antara perbankan dengan BMT/koperasi jasa keuangan syariah (KJKS) memiliki perbedaan yang mendasar. Level mikro bagi perbankan formal termasuk BPR dan BPRS, adalah pembiayaan dengan skala 50 sd 100 juta. Sedangkan BMT/KJKS, beroprasi pada skala mikro artinya dibawah 50 juta, bahkan memberikan pembiayaan sekitar 100 ribu. Level mikro dengan definisi BMT ini tidak digarap oleh perbankan secara umum karena dianggap tidak bankable, tidak menguntungkan dan kurang efisien. Bank kurang berminat didalam memberikan pinjaman kepada nasabah yang penghasilannya hanya 10 dolar per hari. Sehingga pada level mikro dalam perspektif konvensional, institusi keuangan non formal seperti rentenir dan berbagai macam individu yang meminjamkan uang dengan tingkat bunga yang tinggi diberikan kesempatan untuk tumbuh subur. BMT pada kenyataanya tetap memberikan pelayanan pinjaman kepada nasabah yang penghasilannya dua dolar per hari sekalipun untuk keperluan produktif. Dengan kehadiran BMT secara perlahan akan mengurangi jumlah rentenir yang beroperasi menyerap sumber keuangan ekonomi kerakyatan.

Perkembangan BMT di Indonesia sampai saat ini telah memcapai jumlah jaringan yang tersebar di seluruh Indonesia dan tampil sebagai  pendorong intermediasi usaha riil-mikro. Hal ini dibuktikan dengan jumlah BMT atau koperasi jasa keuangan syariah yang telah dikembangkan sampai kepelosok Indonesia. Sejak pertama kali konsep BMT di tahun 1990 diperkenalkan, hanya ada beberapa puluh unit saja, dan saat ini jumlah BMT sudah lebih dari 5.500 (Asosiasi BMT Indonesia/Absindo, 2012). Secara akumulasi, asset BMT diperkirakan telah mencapai sekitar Rp 3 triliun rupiah. BMT/KJKS ini pada umumnya berbadan hukum koperasi jasa keuangan syariah (KJKS) atau koperasi simpan pinjam syariah (KSP) yang sebagian besar tersebar di wilayah urban dan perdesaan. Letak kantor BMT sebagian besar berada ditengah pusat ekonomi kerakyatan, seperti pasar trasisional dan pemukiman penduduk. Nasabah/costumer berbagai produk BMT/KJKS adalah masyarakat yang kelas menengah kebawah dengan berbagai macam profesi seperti pedagang kecil, pegawai rendahan, tukang becak, tukang ojek dan berbagai macam profesi informal lainya.

Sampai saat ini telah terdapat kurang lebih sekitar 3 juta nasabah mikro yang memanfaatkan jasa pembiayaan melalui model institusi keuangan BMT/KJKS di Indonesia. Pada dasarnya mereka adalah pelaku usaha super mikro dan mikro yang menggerakkan ekonomi riil-kerakyatan di pedesaan dan sub-urban area. Ketangguhan  BMT telah dibuktikan dengan keberhasilanya menjadi lembaga keuangan mikro yang andal. Kemampuannya untuk menghimpun dana dan menyalurkan kepada masyarakat dengan skala yang besar adalah suatu prestasi yang luar biasa. Mengingat mayoritas anggota dan nasabahnya adalah pelaku usaha berskala mikro, yang selama ini tidak diperhitungkan oleh perbankan sebagai target nasabah yang menjanjikan. Dengan mengembangkan kemampuan menabung, ketahanan masyarakat dalam menghadapi kebutuhan-kebutuhan yang bersifat mendesak seperti sakit, musibah maupun kebutuhan mendesak lainnya menjadi semakin kuat. Masyarakat pun melalui BMT mulai belajar mengakumulasikan modal bagi peningkatan kapasitas bisnis, atau pembuatan bisnis baru.

Berdasarkan hasil analisis BMT center, kinerja BMT sebagian besar berada diatas rata-rata lembaga keuangan, meskipun ada juga beberapa kasus BMT yang disalahgunakan oleh para pengurusnya. Dari sisi perkembangan pembiayaan yang diberikan, rasio financing to deposit ratio (FDR), pada umumnya mendekati 100% bahkan ada yang melebihi. Kondisi ini menunjukkan bahwa dana yang dihimpun dari anggota dan nasabah dapat disalurkan sepenuhnya. Kebutuhan BMT akan dana tambahan dipenuhi melalui sumber lain non anggota, seperti perbankan syariah, perusahaan modal ventura dan individu dengan dana yang melimpah. Akumulasi dana dari berbagai sumber yang dikelola oleh BMT di Indonesia mampu menjadi solusi akan kebutuhan modal bagi usaha sekala mikro dan super mikro. Kinerja BMT yang baik dan beroprasi secara effektif mampu berperan di dalam meningkatkan dan mendorong ekonomi kerakyatan di Indonesia. Pada akhirnya pengentasan kemiskinan melalui pemberdayaan masyarakat bisa diwujudkan dengan cara memperkuat efektifitas BMT di Indonesia.

oleh:
Ahmad Hudaifah (Peneliti di Regional Economic Development Institute)